Senja mulai turun di kota Jakarta. Di sebuah kafe kecil, Pak Hadi—seorang profesor neurologi—sedang mengamati sepasang kekasih yang bertengkar di meja seberang. Sang pria tampak berbicara dengan nada tinggi, sementara wanita di hadapannya menahan tangis.
“Menarik, bukan?” bisik Pak Hadi pada mahasiswanya yang duduk di sebelah. “Kita bisa melihat pertarungan abadi dalam diri manusia—antara perasaan dan logika.”
Manusia memang makhluk yang unik. Di antara semua spesies di bumi, kita memiliki kapasitas intelektual yang luar biasa, namun juga dianugerahi kemampuan emosional yang kompleks. Pertanyaannya, manakah yang lebih dominan dalam menentukan siapa kita sebenarnya?
Otak Manusia: Rumah dari Dua Kekuatan
Dari sudut pandang neurobiologi, otak manusia memiliki struktur yang mencerminkan dualitas ini. Amigdala—bagian otak primitif yang berukuran kecil namun sangat berpengaruh—bertanggung jawab untuk respons emosional seperti rasa takut, marah, dan cinta. Sementara itu, korteks prefrontal yang lebih “muda” dalam evolusi manusia menangani pemikiran kompleks, perencanaan, dan penalaran logis.
Penelitian yang dilakukan oleh Antonio Damasio, seorang ahli saraf terkemuka, menunjukkan bahwa pasien dengan kerusakan pada bagian otak yang memproses emosi mengalami kesulitan besar dalam membuat keputusan, meskipun kemampuan logika mereka masih utuh. Studi ini, yang dipublikasikan dalam bukunya “Descartes’ Error,” memberikan bukti bahwa emosi dan logika tidak bekerja secara terpisah, melainkan saling melengkapi.
Emosi: Lebih dari Sekadar “Gangguan”
“Dulu, saya selalu berpikir bahwa emosi adalah pengganggu dalam proses berpikir rasional,” ujar Pak Hadi sambil menyeruput kopinya. “Tapi penelitian modern menunjukkan sebaliknya.”
Studi dari Universitas New York yang dipimpin oleh Elizabeth Phelps mengungkapkan bahwa emosi sebenarnya membantu kita membuat keputusan lebih cepat dan sering kali lebih akurat dalam situasi kompleks. Emosi menyediakan “jalan pintas” kognitif yang telah diprogram melalui evolusi selama jutaan tahun.
Contohnya, saat seseorang merasakan ketakutan mendadak di jalan sepi, itu mungkin merupakan respons terhadap tanda-tanda bahaya yang tidak disadari secara kognitif. Emosi ini bisa menyelamatkan nyawa dengan memicu respons “lari atau lawan” sebelum pikiran sadar sempat menganalisis situasi.
Logika: Anugerah Evolusi
Di sisi lain, kemampuan berpikir logis adalah salah satu pencapaian terbesar evolusi manusia. Kemampuan ini memungkinkan kita membangun peradaban, mengembangkan teknologi, dan memecahkan masalah kompleks.
Profesor Kahneman, pemenang Nobel Ekonomi, dalam penelitiannya tentang proses pengambilan keputusan, mengidentifikasi dua sistem berpikir: Sistem 1 (cepat, instingtif, emosional) dan Sistem 2 (lambat, deliberatif, logis). Keduanya memiliki fungsi penting dalam kehidupan sehari-hari.
“Manusia modern cenderung mengagungkan logika dan menganggap emosi sebagai kelemahan,” kata Pak Hadi. “Padahal, penelitian menunjukkan bahwa orang dengan kecerdasan emosional tinggi cenderung lebih sukses dalam karir dan hubungan sosial.”
Harmoni yang Seimbang
Melihat data ilmiah yang ada, nampaknya manusia bukanlah makhluk perasa ATAU logika—tapi keduanya. Kita adalah hasil dari interaksi kompleks antara sistem emosional dan rasional yang terus berkembang.
Studi longitudinal selama 30 tahun yang melibatkan lebih dari 1.000 partisipan di University of California menunjukkan bahwa individu dengan keseimbangan baik antara kecerdasan emosional dan kognitif cenderung hidup lebih puas, lebih sehat, dan lebih berhasil dibanding mereka yang dominan di salah satu aspek saja.
“Lihatlah pasangan yang tadi bertengkar,” Pak Hadi menunjuk ke arah meja yang kini kosong. “Mereka pergi sambil bergandengan tangan. Mungkin logika membuat mereka menyadari nilai hubungan mereka, sementara emosi memberi motivasi untuk memaafkan.”
Mungkin itulah esensi kemanusiaan kita—kemampuan untuk merasakan secara mendalam, namun juga berpikir secara kritis. Dalam simfoni kehidupan, emosi dan logika bukanlah dua instrumen yang bersaing, melainkan berkolaborasi menciptakan melodi yang harmonis.
Seperti yang dikatakan filsuf Pascal, “Hati memiliki alasan yang tidak dikenal oleh akal.” Mungkin justru dalam perpaduan keduanya kita menemukan kemanusiaan kita yang sesungguhnya.